PURWOREJO — Bruno adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang terdiri dari 18 desa/kelurahan. Wilayahnya berada di sebuah dataran tinggi yang sebagian besar masih berupa hutan.
Udara di sini masih sangat bersih dengan kekayaan alam yang melimpah berkat buah-buahan dan hasil ternaknya.
Lantas, apa saja sisi unik wilayah ini? Berikut sejumlah faktanya.
Memiliki Wisata Alam yang Indah
Bruno memiliki wisata alam yang indah, salah satunya adalah Curug Muncar yang berada di Desa Brunorejo. Tempat wisata itu masih asri karena belum banyak dikunjungi wisatawan. Di samping itu masih ada tempat wisata lain seperti Curug Gunung Putri, Curug Kyai Kate, dan juga Bukit Patihan.
Bruno juga dikenal memiliki hasil alam yang melimpah. Wilayah itu merupakan daerah penghasil kelapa, manggis, durian, cengkih, dan ketela.
Pada zaman dahulu, kecamatan ini merupakan hutan belantara sehingga sangat sulit untuk dijangkau manusia. Lokasinya berbatasan langsung dengan Wonosobo dan hingga saat ini terkenal akan duriannya.


Ibukota Provinsi Jawa Tengah
Pada masa Perang Jawa (1825-1830), wilayah ini pernah jadi lokasi persembunyian Pangeran Diponegoro bersama senopatinya, Tumenggung Gajah Permada. Bahkan, pada 1945-1949, wilayah Bruno pernah menjadi markas persembunyian para pejuang kemerdekaan karena kala itu Semarang dikuasai Belanda.
Kemudian ada satu desa yaitu Kembangan, yang lokasinya berada sangat jauh di atas pegunungan yang dijadikan lokasi KRT Wongsonegoro, Gubernur Jawa Tengah kala itu untuk menjalankan pemerintahannya selama 100 hari. Sehingga secara tidak langsung, ibu kota Jawa Tengah pindah ke Bruno, Purworejo.
KRT Wongsonegoro juga memindahkan pasukan militer ke Bruno yang terdiri dari empat kompi. Dikutip dari situs resmi UPPH Kecamatan Bruno, peristiwa ini terjadi 1948-1949.
Selama di situ, KRT Wongsonegoro menempati rumah warga setempat, Dul Wahid saat memimpin Jawa Tengah dari Bruno. Mengutip situs resmi Pemprov Jateng, KRT Wongsonegoro merupakan Gubernur Jawa Tengah II, setelah R Pandji Soeroso, dari 13 Oktober 1945 – 4 Agustus 1949.
Sebagai informasi, Provinsi Jawa Tengah dibentuk pada 15 Agustus 1950, yang ditandai dengan keluranya UU nomor 10 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah.


Asal usul Nama “Bruno”
Sekilas, nama “Bruno” yang ditamatkan pada kecamatan itu terdengar tidak familiar untuk nama sebuah tempat di Jawa. Tapi sebenarnya nama itu memiliki makna dan cerita tersendiri bagi masyarakat di sana.
Dilansir dari Wikipedia.org, kisah itu terjadi setelah Pangeran Diponegoro bersama senopatinya, Tumenggung Gajah Permana, memperoleh kemenangan atas Belanda di wilayah Bagelen. Setelah kemenangan itu, mereka bergerak ke utara Kutoarjo untuk berlindung dari kejaran musuh.
Pada suatu tempat, mereka semakin terdesak oleh pasukan musuh yang terus mengejar dari belakang. Maka dari itu, sang Tumenggung menggunakan jimat yang dapat mengubahnya menjadi macan saat digunakan di jempol.
Setelah menjadi macan, dia menggendong Pangeran Diponegoro dan kemudian memanjat sebuah pohon besar. Tak lama kemudian pasukan Belanda datang dan anehnya mereka hanya berputar-putar di sekitar pohon tanpa sekalipun menoleh ke atas pohon.
Oleh karena itulah kemudian tempat itu dinamakan Bruno, yang merupakan akronim dari kalimat berbahasa Jawa “Buronane Ora Ono” yang berarti “buruannya tidak ada”.
Harga Tanah Mahal
Fakta menarik lainnya di Kecamatan Bruno adalah harga tanah disana yang bisa dibilang cukup tinggi. “Untuk tanah yang berada di tepi jalan bagian bawah harga tanah mencapai Rp 5 juta per meter. Sedangkan tanah bagian atas kisaran 2-3 juta per meterbya,” terang Camat Bruno, Nur Huda, S.STP, M.I.P kepada reportase.one, Rabu (30/12/2022).
Meski demikian, sebut Nur Huda, di wilayah Kecamatan Bruno masih kesulitan signal telekomunikasi. “Disini susah sinyal, jadi sebenarnya masih butuh banyak tower,” ungkapnya.
Selain memiliki destinasi wisata alam yang indah, Bruno, lanjut Nur Huda, merupakan wilayah dengan jumlah penduduk yang tidak begitu banyak dalam satu Kecamatan. Mayoritas penduduk disini adalah petani kebun dan lainnya bervariasi, ” tutupnya.
Laporan : Sutrisno (tanpa) kucir